Dalam satu dekade terakhir, konsep smart home menjadi simbol kemajuan teknologi modern. Mulai dari lampu otomatis, CCTV berbasis AI, smart lock, hingga kulkas yang dapat memesan bahan makanan sendiri — semua tampak menawarkan kemudahan hidup. Namun, memasuki tahun 2025, muncul fenomena baru yang cukup mengejutkan: sebagian pengguna justru mulai meninggalkan smart home dan kembali ke sistem rumah analog atau perangkat offline.

Tren ini dikenal dengan sebutan “Downgrading Smart Homes”.

Apa Itu Downgrading Smart Homes?

Downgrading smart homes adalah tren di mana pemilik rumah:

§ Melepas atau mematikan perangkat pintar

§ Mengganti sistem otomatis dengan kontrol manual

§ Beralih ke peralatan rumah tangga offline

§ Mengurangi ketergantungan pada WiFi dan aplikasi

Contohnya:

• Mengganti lampu pintar dengan lampu saklar biasa
• Menghapus smart lock dan kembali ke kunci mekanik
• Mengganti speaker smart assistant dengan speaker analog
• Menonaktifkan smart TV dan memakai monitor biasa
• Menghindari IoT appliances seperti smart fridge atau smart oven

Mengapa Tren Ini Muncul?

Berbagai survei dan diskusi publik mengungkap empat alasan utama:

1. Kelelahan Teknologi (Tech Fatigue)

Pengguna merasa lelah karena:

• Terlalu banyak aplikasi berbeda
• Update software yang tidak stabil
• Masalah teknis yang sering muncul
• Ketergantungan pada koneksi internet

Alih-alih mempermudah hidup, perangkat pintar kadang justru menambah kerumitan.

2. Kekhawatiran Privasi dan Data

Smart home selalu terhubung ke cloud dan sering mengumpulkan data pengguna.

Kekhawatiran yang muncul:

• Kamera rumah dapat diretas
• Data suara dari smart speaker tersimpan di server
• Aplikasi smart home mengakses lokasi atau aktivitas penghuni rumah

Banyak orang kini ingin kembali pada rumah yang “tidak memata-matai penghuninya”.

3. Masalah Keamanan Siber (Cybersecurity Risk)

Kian banyak kasus:

• Smart lock yang dibobol
• Baby monitor diretas
• CCTV online yang dapat diakses pihak luar
• Perangkat IoT dipakai untuk serangan DDoS

Rumah pintar berarti rumah yang selalu terhubung, dan itu membuatnya lebih terbuka terhadap ancaman digital.

4. Kendali yang Lebih Nyata dan Simpel

Beberapa pemilik rumah menyadari bahwa:

• Memencet saklar jauh lebih cepat daripada membuka aplikasi
• Perangkat mekanik lebih awet daripada perangkat IoT
• Tidak perlu menunggu sinkronisasi atau update firmware

Rumah analog menawarkan kesederhanaan dan kontrol langsung, sesuatu yang kini dianggap lebih bernilai.

Contoh Downgrading yang Banyak Terjadi

§ Mengganti Smart Lock → Kunci Biasa

Karena risiko diretas lebih tinggi daripada risiko kehilangan kunci.

§ Mengganti Smart Bulb → Lampu Manual

Tidak perlu koneksi, tidak perlu reset, tidak ada “error: cannot connect”.

§ Menonaktifkan Smart TV → Gunakan Monitor + TV Box Offline

Mengurangi tracking aktivitas menonton.

§ Melepas Smart Speaker → Speaker Analog

Untuk privasi dan rasa aman dalam ruang pribadi.

Siapa yang Mendorong Tren Ini?

Tren ini terutama muncul dari:

• Keluarga muda yang peduli privasi
• Pekerja remote yang ingin mengurangi distraksi
• Pengguna yang kecewa dengan smart home ecosystem yang tidak kompatibel antar merek
• Orang yang ingin hidup lebih “slow living” dan minimalis
• Pencinta perangkat retro

Meskipun tidak semua orang meninggalkan smart home, tren ini cukup besar untuk menjadi sorotan global.

Dampak bagi Industri Teknologi

Fenomena downgrading ini mengirim sinyal penting ke industri:

1. Kebutuhan akan perangkat hybrid

Perangkat yang bisa:

• tetap berfungsi manual
• namun punya opsi untuk fitur pintar
• Tanpa dipaksa selalu online.

2. Permintaan terhadap privacy-first technology

Brand di masa depan harus menekankan:

• enkripsi kuat
• mode offline
• minim pengumpulan data

3. Smart home yang “benar-benar membantu”

Pengguna hanya akan menerima teknologi yang:

• stabil
• mudah digunakan
• tidak mengganggu
• tidak mengharuskan langganan bulanan

Apakah Smart Home Akan Hilang? Tidak.

Tren downgrade tidak menghapus smart home.

Yang terjadi adalah:

·      Pengguna lebih selektif

·      Teknologi harus lebih manusiawi

·      Perangkat harus lebih aman dan sederhana

Industri smart home dipaksa untuk beradaptasi agar lebih ramah pengguna dan lebih menghargai privasi.

Dunia teknologi kembali dikejutkan oleh langkah besar dari Google dan Samsung, yang resmi memperlihatkan prototipe kacamata XR (Extended Reality) hasil kolaborasi dengan perusahaan AR terkemuka Magic Leap. Langkah ini menandai babak baru dalam persaingan perangkat realitas campuran yang semakin kompetitif menjelang tahun 2026.

Kolaborasi Strategis untuk Masa Depan XR

Google dan Samsung telah bekerja sama sejak awal 2023 untuk mengembangkan platform Android berbasis XR, yang dirancang khusus bagi perangkat augmented reality (AR) dan virtual reality (VR). Kini, dengan keterlibatan Magic Leap — perusahaan yang dikenal melalui teknologi pelacakan ruang dan optik canggih — proyek ini semakin matang.

Kacamata prototipe yang diperkenalkan menampilkan desain ringan, ergonomis, dan modern, jauh dari bentuk headset besar seperti Meta Quest atau Apple Vision Pro. Menurut laporan dari 9to5Google, perangkat ini menggunakan sistem Android XR, sistem operasi turunan Android yang dioptimalkan untuk pengalaman campuran antara dunia nyata dan digital.

Fitur dan Teknologi Unggulan

Beberapa fitur yang diperkirakan akan menjadi andalan kacamata XR ini meliputi:

• Pelacakan ruang tingkat lanjut (spatial tracking) hasil pengembangan Magic Leap.
• Integrasi AI generatif, memungkinkan pengguna berinteraksi dengan lingkungan digital secara natural menggunakan perintah suara atau gerakan tangan.
• Tampilan optik microLED beresolusi tinggi yang mampu memproyeksikan objek digital dengan ketajaman luar biasa.
• Konektivitas 5G dan Wi-Fi 7, memastikan streaming konten dan kolaborasi virtual berjalan lancar.
• Sinkronisasi dengan ekosistem Android dan Galaxy, sehingga pengguna dapat mengakses aplikasi dan layanan Google langsung melalui tampilan XR.

Potensi dan Arah Pengembangan

Kolaborasi ini menunjukkan strategi Google dan Samsung untuk memperluas dominasi mereka ke ranah spatial computing — sebuah konsep di mana interaksi manusia dan komputer tidak lagi terbatas pada layar, melainkan terintegrasi langsung dengan dunia nyata.

Bagi Magic Leap, kemitraan ini menjadi peluang untuk kembali bersinar setelah beberapa tahun menghadapi kesulitan komersial. Dengan dukungan raksasa seperti Google dan Samsung, teknologi mereka kini berpeluang mencapai pasar massal.

Dampak untuk Dunia Pendidikan dan Profesional

Teknologi XR bukan hanya untuk hiburan, tetapi juga memiliki potensi besar dalam bidang pendidikan, pelatihan, dan bisnis.

• Di sektor pendidikan, XR dapat menghadirkan pembelajaran imersif — misalnya simulasi laboratorium atau presentasi interaktif.
• Dalam dunia profesional seperti akuntansi dan organisasi kampus, XR dapat dimanfaatkan untuk visualisasi laporan keuangan 3D, pelatihan berbasis simulasi, hingga kolaborasi jarak jauh dengan tampilan data real-time.

Dengan pendekatan terbuka berbasis Android, kacamata XR ini berpotensi menjadi perangkat yang mudah diakses oleh pengembang dan pengguna di berbagai bidang.

Menuju Era Baru Realitas Campuran

Meski masih dalam tahap prototipe dan belum diumumkan tanggal peluncurannya, kacamata XR hasil kolaborasi ini menegaskan bahwa masa depan komputasi portabel akan berpusat pada realitas campuran. Google, Samsung, dan Magic Leap tampaknya bertekad menghadirkan perangkat XR yang lebih ringan, cerdas, dan terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari.

Jika proyek ini berjalan sesuai rencana, kita mungkin akan melihat peluncuran resmi pada akhir 2026, bersaing langsung dengan Apple Vision Pro generasi kedua dan Meta Quest 4.

Oktober 2025 – Perusahaan semikonduktor asal Taiwan, MediaTek, resmi memperkenalkan chipset terbaru mereka, Kompanio 540, yang dirancang khusus untuk perangkat Chromebook generasi 2026. Chip ini diklaim mampu memberikan performa tinggi dengan efisiensi daya maksimal, sekaligus memungkinkan desain tanpa kipas (fanless) yang lebih senyap dan ringan.

Chipset yang Ramah Energi dan Efisien

Kompanio 540 dibangun menggunakan teknologi fabrikasi 3 nanometer terbaru. Dengan teknologi ini, MediaTek berhasil meningkatkan efisiensi energi hingga 30% lebih hemat dibandingkan generasi sebelumnya, Kompanio 528.

Chip ini juga dirancang agar dapat menjalankan aplikasi berbasis cloud dan AI ringan dengan lancar, menjadikannya ideal untuk pengguna pendidikan, bisnis, maupun pelajar yang banyak menggunakan layanan berbasis web seperti Google Workspace atau Zoom.

“Kami ingin menghadirkan pengalaman Chromebook yang lebih cepat, lebih senyap, dan bertahan lebih lama tanpa mengorbankan performa,”

ujar JC Hsu, Vice President MediaTek’s Smart Connectivity Business Group.

Didesain untuk Chromebook Generasi Baru

MediaTek Kompanio 540 akan mulai digunakan pada Chromebook keluaran awal tahun 2026, dari berbagai merek seperti Acer, ASUS, Lenovo, dan HP.

Beberapa keunggulan utama dari chip ini antara lain:

• Desain tanpa kipas – bekerja dengan suhu rendah sehingga perangkat tetap hening dan nyaman.
• Daya tahan baterai hingga 15 jam – cocok untuk kegiatan belajar dan bekerja seharian penuh.
• Performa grafis meningkat – mendukung video 4K HDR dan multitasking yang lebih stabil.
• Optimal untuk aplikasi cloud dan AI – meningkatkan efisiensi kerja berbasis daring.

Mendukung Transformasi Digital Pendidikan

Chromebook dikenal luas di dunia pendidikan karena harganya yang terjangkau dan kemudahan penggunaan. Dengan kehadiran Kompanio 540, MediaTek berharap dapat mendorong adopsi Chromebook di lebih banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Chip baru ini juga mendukung konektivitas Wi-Fi 7 dan Bluetooth 5.4, yang memastikan akses internet cepat dan stabil untuk pembelajaran daring maupun pekerjaan jarak jauh.

Langkah Strategis MediaTek di Pasar Global

Dengan dominasi Intel dan Qualcomm di pasar prosesor laptop, langkah MediaTek menghadirkan Kompanio 540 adalah strategi penting untuk memperkuat posisi mereka di segmen perangkat ringan dan edukatif.

Kombinasi efisiensi, harga kompetitif, dan performa tinggi menjadikan chip ini ancaman nyata bagi kompetitor besar.

SK hynix Inc. baru-baru ini memulai produksi massal chip quadruple-level cell (QLC) berbasis 321-layer NAND flash memory pertama di dunia yang dirancang khusus untuk memenuhi permintaan kinerja tinggi di sektor kecerdasan buatan (AI). Inovasi ini menandai terobosan teknologi dengan implementasi lebih dari 300 lapisan menggunakan teknologi QLC, sehingga menghasilkan kepadatan penyimpanan tertinggi untuk produk NAND saat ini.

Produk terbaru ini memiliki kapasitas penyimpanan 2 terabit, dua kali lipat dari generasi sebelumnya, untuk memaksimalkan daya saing biaya. SK hynix juga meningkatkan jumlah planes dalam chip dari empat menjadi enam, yang merupakan unit operasi independen memungkinkan lebih banyak operasi paralel. Hal ini berkontribusi pada peningkatan kecepatan transfer data hingga dua kali lipat, dengan performa tulis dan baca masing-masing naik sebesar 56 persen dan 18 persen. Selain itu, efisiensi daya saat penulisan data meningkat 23 persen, membuatnya sangat cocok untuk pusat data AI yang mengutamakan konsumsi energi rendah.

Strategi SK hynix menyasar pasar pusat data AI dengan produk ini, yang diharapkan mulai dikirim pada semester pertama 2026 setelah validasi pelanggan global selesai. Perusahaan juga berencana menerapkan teknologi pembungkusan khusus untuk menumpuk 32 chip NAND sekaligus guna menggandakan kepadatan integrasi dan membidik ultra-high-capacity enterprise SSDs untuk server AI.

Menurut Jeong Woo-pyo, Kepala Pengembangan NAND di SK hynix, peluncuran produksi massal ini memperkuat portofolio produk berkapasitas tinggi dan daya saing biaya perusahaan. SK hynix bertekad melakukan lompatan besar sebagai penyedia memori AI menyeluruh (full-stack AI memory provider), seiring dengan pertumbuhan pesat permintaan AI dan kebutuhan kinerja tinggi di pasar pusat data.

Dengan inovasi 321-layer QLC NAND ini, SK hynix menempatkan diri sebagai pemain utama dalam pasar penyimpanan NAND generasi berikutnya yang berfokus pada solusi untuk era AI. Produk ini tidak hanya meningkatkan kapasitas dan kecepatan penyimpanan, tetapi juga efisiensi daya, yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan teknologi AI secara global

Oktober 2025 – Dunia teknologi digital kembali mendapat perhatian besar setelah IAB Tech Lab secara resmi mengumumkan perluasan kerangka kerja privasi global (Global Privacy Platform atau GPP) melalui rilis pembaruan besar bernama GPP Updates dan DDRF V2. Inisiatif ini bertujuan untuk menciptakan interoperabilitas yang lebih luas antarnegara dalam pengelolaan data pengguna di dunia periklanan digital.

1. Apa Itu IAB Tech Lab dan GPP?

IAB Tech Lab adalah organisasi internasional yang mengembangkan standar teknis untuk industri periklanan digital. Salah satu proyek utamanya adalah Global Privacy Platform (GPP) — sistem yang dirancang untuk memudahkan perusahaan mematuhi berbagai regulasi privasi data di seluruh dunia, seperti GDPR di Eropa, CCPA di Amerika Serikat, hingga aturan perlindungan data di Asia.

Dengan GPP, perusahaan dapat mengatur dan menyampaikan preferensi privasi pengguna secara otomatis di berbagai platform digital, sehingga iklan tetap relevan tanpa melanggar hak privasi.

2. Pembaruan Terbaru: GPP Updates dan DDRF V2

Dalam pembaruan kali ini, IAB Tech Lab menambahkan dua elemen penting:

• GPP Updates – pembaruan sistem untuk meningkatkan kompatibilitas lintas negara, mempercepat integrasi bagi pengiklan dan penerbit konten digital.
• DDRF V2 (Data Deletion Request Framework) – sistem baru yang memungkinkan pengguna atau otoritas meminta penghapusan data pribadi secara lebih transparan dan efisien.

Publik diberikan waktu hingga 1 Desember 2025 untuk memberikan masukan sebelum aturan ini disahkan secara global.

3. Dampak terhadap Dunia Digital

Perluasan GPP ini akan berdampak langsung pada:

• Perusahaan periklanan digital, yang perlu memperbarui kebijakan privasi dan sistem manajemen data.
• Pengguna internet, yang akan mendapat kontrol lebih besar atas data pribadi mereka.
• Regulator dan pembuat kebijakan, yang kini memiliki acuan standar internasional untuk menilai kepatuhan privasi.

Langkah ini dinilai sebagai upaya penting menuju dunia digital yang lebih transparan, aman, dan menghormati privasi individu.

4. Implikasi bagi Indonesia

Bagi perusahaan teknologi dan media digital di Indonesia, pembaruan ini menjadi sinyal penting. Indonesia kini tengah memperkuat penerapan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), dan adopsi standar global seperti GPP bisa membantu perusahaan lokal agar lebih siap menghadapi regulasi internasional.

Implementasi GPP juga dapat meningkatkan kepercayaan pengguna terhadap layanan digital lokal, terutama yang mengandalkan periklanan berbasis data atau personalized marketing.

Oktober 2025 menjadi bulan bersejarah bagi dunia teknologi — OpenAI resmi memperkenalkan “Atlas”, sebuah browser web baru yang dirancang untuk mengubah cara pengguna berinteraksi dengan internet. Langkah ini menandai babak baru dalam persaingan antara perusahaan kecerdasan buatan (AI) dengan raksasa mesin pencari seperti Google dan Microsoft.

Apa Itu OpenAI Atlas?

Browser Atlas merupakan proyek terbaru OpenAI yang memadukan teknologi kecerdasan buatan generatif secara langsung ke dalam pengalaman menjelajah web. Tidak seperti browser tradisional yang hanya menampilkan hasil pencarian atau halaman situs, Atlas memungkinkan pengguna untuk berinteraksi langsung dengan web menggunakan bahasa alami, layaknya berbicara dengan ChatGPT.

Misalnya, pengguna dapat mengetik atau mengucapkan perintah seperti:

“Tolong carikan perbandingan laptop terbaik di bawah 10 juta tahun 2025,”

dan Atlas akan tidak hanya menampilkan hasil pencarian, tetapi juga merangkum, membandingkan, dan memberi rekomendasi secara langsung berdasarkan sumber yang relevan.

Integrasi AI yang Mendalam

Atlas dibangun di atas model GPT generasi terbaru milik OpenAI yang terhubung dengan data web secara real-time. Ini memungkinkan browser:

• Memberikan jawaban langsung tanpa harus membuka banyak tab.
• Meringkas artikel panjang, dokumen, atau laporan keuangan dalam hitungan detik.
• Menghasilkan konten otomatis seperti email, laporan, atau draft tulisan berdasarkan konteks halaman yang sedang dibuka.
• Memberikan saran kontekstual — misalnya, saat membuka situs e-commerce, Atlas bisa membantu membandingkan harga dan kualitas produk.

Dengan kata lain, Atlas bukan sekadar browser, melainkan asisten digital terpadu untuk produktivitas, riset, dan eksplorasi informasi.

Menantang Dominasi Google Chrome

Selama lebih dari satu dekade, Google Chrome mendominasi pasar browser dengan pangsa lebih dari 60%. Namun, dengan hadirnya Atlas, OpenAI membawa pendekatan baru yang berfokus pada pengalaman berbasis percakapan dan kecerdasan kontekstual, bukan sekadar penelusuran kata kunci.

Beberapa analis teknologi menilai, langkah ini bisa menggeser cara pengguna mencari informasi:

“Atlas dapat mengubah pencarian web dari sekadar mengetik kata kunci menjadi proses dialog yang lebih intuitif dan efisien,” kata Daniel Ives, analis teknologi dari Wedbush Securities.

Keamanan dan Privasi

OpenAI menegaskan bahwa Atlas akan menerapkan standar privasi tinggi, dengan kontrol transparan atas data pengguna. Tidak seperti browser lain yang bergantung pada iklan berbasis pelacakan, Atlas berencana menggunakan model berlangganan tanpa iklan, mirip dengan versi premium ChatGPT.

Dampak bagi Pengguna di Indonesia

Untuk pengguna di Indonesia, peluncuran Atlas bisa menjadi alternatif menarik bagi mereka yang mengandalkan AI untuk belajar, bekerja, atau riset.

• Mahasiswa dapat memanfaatkan fitur ringkasan otomatis untuk mengolah jurnal.
• Akuntan, penulis, atau pekerja freelance bisa membuat laporan dan dokumen langsung dari halaman web.
• Pengguna umum akan merasakan pencarian informasi yang lebih cepat, cerdas, dan personal.

Namun, ketersediaan versi bahasa Indonesia dan kecepatan akses lokal masih menjadi faktor yang perlu diperhatikan sebelum peluncuran resmi global.